Sabtu, 24 September 2011

Membedakan ketegasan dan KDRT


Pembicaraan tentang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) menjadi topik yang selalu hangat dibicarakan. Media massa, lembaga swadaya masyarakat khususnya yang mengusung isu gender, lembaga bantuan hukum dan lembaga peradilan begitu tersibukan dengan tajuk yang sebenarnya sudah ada sejak lama ini. Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia telah mengesahkan sebuah undang–undang khusus Antikekerasan dalam Rumah Tangga.
Pembicaraan tentang KDRT yang terjadi di masyarakat kadang mengandung kebenaran. Tapi tidak jarang pembicaraan tersebut bermuatan hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang luhur. Isu KDRT tidak jauh dari induk semangnya, yaitu isu hak asasi manusia (HAM) yang dikomentari oleh Mufti Kerajaan Saudi Arabia Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh -hafizhahullah- dengan
mengatakan: “Sesungguhnya isu tentang HAM di berbagai belahan dunia pada zaman ini adalah kalimat haq urida biha bathil (kalimat yang benar, tapi dimaksudkan untuk hal yang salah)”.
Yang menjadi kewajiban seorang muslim adalah kembali kepada petunjuk yang telah digariskan oleh Islam dalam setiap aspek kehidupan. Islam dengan kesempurnaannya tidak melalaikan aspek ini. Kedudukan antara suami, istri dan anggota keluarga yang lain telah dijelaskan dalam agama kita. Demikian juga dengan hak dan kewajiban serta aturan-aturan yang harus diikuti oleh masing-masing.
Tulisan ini berusaha mendudukkan masalah KDRT pada tempatnya, dengan merujuk kepada Al-Quran dan as-Sunnah dan penjelasan para ulama. Pada hakikatnya, pembicaraan tentang KDRT mencakup hubungan suami dengan isteri, orang tua dengan anak, dan majikan dengan dengan pekerja. Namun tulisan ini hanya akan menyoroti yang pertama saja, yaitu yang berkenaan dengan hubungan antara suami dengan istri.
Ketegasan kadang mengandung unsur kekerasan. Dalam batas-batas tertentu, unsur kekerasan tersebut dibolehkan secara syar’i. Dalam tulisan ini, ketegasan dimaksudkan sebagai sikap tegas yang dalam Islam boleh dilakukan untuk mengatur kehidupan rumah tangga, meskipun kadang mengandung unsur kekerasan. Adapun KDRT dimaksudkan sebagai hal-hal yang secara syar’i dilarang dilakukan untuk keperluan tersebut.
Kedudukan Suami dan Istri Dalam Keluarga
Islam menjadikan suami sebagai kepala keluarga. Allah Ta’ala berfirman:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka.” [QS. An-Nisaa: 34]
Ketika menafsirkan ayat ini, Al-Alusi berkata: “Tugas mereka (para suami) adalah mengurus para isteri sebagaimana penguasa mengurus rakyat dengan perintah, larangan dan sebagainya.” [Ruuhul Ma'aani, 3/23]
Sementara al-Qurthubi berkata: “قََوَّام adalah wazan فَعَّال –yang dipakai untukmubalaghah (memberi makna lebih) dari  القيام على الشيء (mengurusi sesuatu), dan menguasai sendiri (istibdad) urusannya, serta memiliki hak menentukan dalam menjaganya. Maka kedudukan suami dari istrinya adalah sampai pada batasan ini, yaitu mengurusnya, mendidiknya, berhak menahannya di rumah, melarangnya keluar, dan isteri wajib taat serta menerima perintahnya selama itu bukan maksiat.” [Al-Jaami' li Ahkaamil Qur'aan, 5/163]
Hak dan Tugas SuamiDalam Rumah Tangga
Islam telah menjelaskan hak-hak masing-masing suami dan isteri. Syariat Islam memberikan suami hak yang besar atas isterinya. Sampai-sampai Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ النِّسَاءَ أَنْ يَسْجُدْنَ لأَزْوَاجِهِنَّ لِمَا جَعَلَ اللَّهُ لَهُمْ عَلَيْهِنَّ مِنَ الْحَقِّ.
Artinya: “Seandainya aku memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya akan aku perintahkan para isteri untuk sujud kepada para suami mereka, karena besarnya hak yang Allah berikan kepada para suami atas mereka.” [HR. Abu Dawud 2142, at-Tirmidzi 1192, dan Ibnu Majah 1925, dishahihkan al-Albani dalam Irwaul Ghalil 7/54]
Demikianlah Islam mendudukkan permasalahan ini, dan inilah jalan kebahagiaan. Sebuah keluarga akan bahagia jika memahami dan mengikuti petunjuk ini. Dan pasangan yang serasi adalah pasangan yang membangun hubungan mereka di atas pilar ini. Sebaliknya, emansipasi yang banyak diserukan banyak kalangan pada zaman ini hanyalah fatamorgana yang seakan indah di mata, namun pahit dirasa. Karena menyelisihi sunnah yang telah diatur oleh Sang Pencipta.
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membahas hak-hak suami secara panjang lebar. Namun kiranya perlu disebut beberapa contoh untuk menggambarkan besarnya hak tersebut, sehingga kita bisa mengukur hal-hal apa saja yang bisa dikategorikan sebagai KDRT. Diantara hak suami adalah wajibnya isteri untuk mentaatinya, termasuk ketika suami mengajak berhubungan. Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ، فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya: “Jika seorang suami mengajak isterinya berhubungan dan isteri menolak, lalu suami marah kepadanya sepanjang malam, para malaikat melaknat isteri itu sampai pagi.” [HR. al-Bukhari 5193 dan Muslim 1436]
Hadits ini menunjukkan bahwa menolak ajakan suami untuk berhubungan tanpa udzuradalah dosa besar.
Seorang isteri tidak boleh berpuasa sunnah saat suaminya ada, tanpa seizin suaminya. Ia juga tidak boleh mengizinkan orang lain masuk rumah tanpa izin suami. Sebagaimana diriwayatkan Abu Hurairah Radhiallahu’anhu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallambersabda:
لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ، وَلاَ تَأْذَنَ فِى بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ ، وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُه
Artinya: “Tidak halal bagi seorang isteri untuk berpuasa*, sedangkan suaminya hadir, kecuali dengan ijinnya. Dan ia tidak boleh mengijinkan orang lain masuk rumah suami tanpa ijin darinya. Dan jika ia menafkahkan sesuatu tanpa ada perintah dari suami, maka suami mendapat setengah pahalanya”. [HR. Al-Bukhari 5195 dan Muslim 1026]Dalam sebagian riwayat disebutkan secara tegas “” فله نصف أجره  (Lihat Fathul Bari, 11/629 )
* : Ibnu Hajar berkata: “Yakni puasa selain Ramadhan, atau puasa wajib diluar Ramadhan jika waktunya sempit.” (Fathul Bari 11/624)
Tentunya hak-hak diatas tidak dapat diwujudkan tanpa tugas dan kewajiban setiap pasangan suami istri. Khususnya suami yang berkedudukan sebagai kepala rumah tangga yang memimpin lajunya bahtera rumah tangga. Diantara tugas terpenting suami adalah membimbing istri dan keluarganya meraih ke-ridha-an Allah dengan menerapkan ajaran syariat dalam semua aspek kehidupan keluarga. Membimbing dan mengarahkan sang istri untuk berjalan lurus diatas syari’at dan meluruskan kesalahan dan nusyuz(sikap melanggar kewajiban) yang mungkin terjadi padanya.
Tidak dapat dipungkiri lagi satu rumah tangga terkadang muncul polemik dan problem yang muncul dari istri atau suami sendiri. Disinilah tampak peran dan tugas suami dalam menanggulangi dan mengobatinya sehingga tidak membuat rumah tangganya pecah berantakan. Kedewasaan dan kepiawaian suami dalam menghadapinya memberikan pengaruh dalam kesinambungan dan keutuhan rumah tangga tersebut. Terkadang kelembutan menjadi solusi pemecahannya dan terkadang juga diperlukan ketegasan dan sedikit hukuman dalam menghilangkannya atau mengurangi bahaya yang muncul dari problem tersebut. Disinilah sang suami harus mengetahui sampai dimana kelembutan dan ketegasan digunakan dalam hubungan rumah tangga.
Pentingnya Ketegasan Suami
Di atas telah dibahas tentang kedudukan suami dalam rumah tangga dan tugasnya. Tentunya hal seperti ini memerlukan ketegasan, agar kehidupan rumah tangga bisa berjalan dengan baik. Sebagaimana seorang penguasa harus memiliki ketegasan dalam menjalankan roda pemerintahannya. Tanpa ketegasan, bisa jadi anggota keluarga akan meremehkan aturan-aturan dan norma dalam keluarga. Kehidupan rumah tangga menjadi tidak teratur, sehingga hilanglah hikmah yang dimaksudkan dari disyariatkannya kepemimpinan dalam keluarga. Keberadaan suami dan bapak menjadi tidak ada artinya. Dengan demikian, tidak terwujudkan tanggungjawab yang diamanatkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sabda beliau:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، الإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى أَهْلِهِ وَهْوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِى بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِى مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ – قَالَ وَحَسِبْتُ أَنْ قَدْ قَالَ – وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِى مَالِ أَبِيهِ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: “Setiap dari kalian adalah penanggungjawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Penguasa adalah penanggungjawab atas rakyatnya, dan akan ditanya tentangnya. Suami menjadi penanggungjawab dalam keluarganya, dan akan ditanya tentangnya. Isteri adalah penanggungjawab di rumah suaminya dan akan ditanya tentang tanggungjawabnya. Pembantu bertanggungjawab atas harta tuannya dan akan ditanya tentangnya, -Ibnu Umar berkata: dan saya kira Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga berkata:- Dan anak adalah penanggungjawab atas harta bapaknya dan akan ditanya tentangnya, dan setiap dari kalian adalah penanggungjawab, dan masing-masing akan ditanya tentang tanggungjawabnya” [HR. Al-Bukhari 893 dan Muslim 4828]
Hendaknya setiap muslim merenungkan hadits ini dan mengamalkannya dengan bertanggungjawab atas setiap amanat yang diemban, dan menyiapkan jawaban untuk pertanyaan Allah pada hari dimana harta dan keturunan tiada lagi berguna. Allahumma sallim sallim.
Bentuk Ketegasan Suami
Ketegasan yang dilakukan suami dan kepala keluarga harus melihat kepada manfaat dan permasalahan yang terjadi. Juga jangan sampai berlebihan sehingga menjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Jadikanlah ketegasan tersebut sebagai obat dan vaksin dalam mencegah munculnya nusyuz dan pelanggaran syari’at dalam rumah tangga. Jangan sampai suami membiarkan istri berbuat pelanggaran agama hanya dengan dalih khawatir melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebab membiarkan istri maksiat tanpa ada teguran dan tindakan terapinya merupakan perbuatan tercela dan diancam Allah dengan siksaan yang berat. Sebagaimana dijelaskan dalam sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ وَالدَّيُّوثُ
Artinya: “Tiga orang yang Allah tidak melihat mereka pada hari kiamat ; orang yang durhaka kepada kedua orang tuanya, perempuan tomboy (menyerupai lelaki) dan ad-Dayûts.” (HR al-Nasaa’I dan dishahihkan al-Albani dalam Silsilah al-Shohihah 2/229). Ad-Dayyûts ini dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika ditanya:
يَا رَسُوْلَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ فَمَا الدَّيُّوْثُ قَالَ الَّذِيْ لاَ يُبَالِيْ مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ
Artinya: “Wahai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, adapun pecandu khamr kami telah mengerti. Tapi apa itu ad-Dayûts ? beliau menjawab: ‘Ia adalah yang tidak memperdulikan siapa yang menemui istrinya’” (HR al-Thabrani dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Targhib wa al-Tarhib no. 2071 (2/227)). Lebih tegas lagi beliau Shallallahu’alaihi Wasallammenyatakan:
وَ الدَّيُّوْثُ الَّذِيْ يُقِرُّ فِيْ أَهْلِهِ الْخَبَثَ .
Artinya: “Dan ad-Dayûts adalah yang membiarkan kemaksiatan pada keluarganya” [HR Ahmad dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami' as-Shaghir no. 5363].
Melarang istri dari perbuatan dosa dan maksiat termasuk ketegasan suami dan bukan termasuk KDRT, walaupun terkadang tampak mengekang kebebasan istri. Demikian juga termasuk ketegasan suami adalah menghukum istri bila melanggar.
Bilamana Suami Menghukum Isteri?
Secara faktual, sangat jarang bahkan mungkin tidak ada; sebuah keluarga berjalan tanpa adanya percikan polemik atau permasalahan. Oleh karena itu, kita dituntut untuk siap menghadapi berbagai guncangan yang timbul. Tak jarang istri melakukan pelanggaran yang dapat membuat suami tidak nyaman, gelisah atau marah. Di sini lah Allah menjelaskan bolehnya suami menghukum istri dalam firmanNya:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka Wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menta’atimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [QS. An-Nisaa: 34]
Al-Alûsi berkata: “Dan ayat di atas dipakai berdalil bahwa seorang suami boleh menghukum isteri dan melarangnya keluar rumah, serta bahwa isteri wajib taat kepadanya kecuali jika memerintahnya bemaksiat kepada Allah.”
Hukuman itu bisa berupa mendiamkannya atau memukulnya dalam batas-batas yang telah diatur Islam. Hal ini dimaksudkan agar isteri kembali kepada jalan yang benar, sebagaimana sebagian rakyat juga tidak menjadi baik kecuali jika hukuman diterapkan.
Saling Menasehati, dan Memulai Dengan Hukuman Yang Paling Ringan
Terjadinya kesalahan adalah hal yang lumrah terjadi pada anak Adam, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun yang lain. Untuk itu Islam mengajarkan umatnya untuk saling mengingatkan, saling menasehati dan amar ma’ruf nahi munkar. Saling menasehati adalah bukti cinta yang hakiki. Karenanya orang-orang terdekat adalah orang yang paling berhak mendapatkannya. Sebuah keluarga muslim harus membiasakan diri dengan sunnah ini.
Jika isteri salah dengan tidak taat kepada suami misalnya, suami diperintahkan untuk menasehatinya terlebih dahulu. Allah Ta’ala berfirman:
وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz, maka nasehatilah mereka, diamkanlah mereka di tempat tidur dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” [QS. An-Nisa': 34]
Nusyuz adalah meninggalkan ketaatan kepada suami atau menentangnya, baik dengan perkataan maupun perbuatan [Lihat Taisirul Karimir Rahman hal. 177 ].
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di Rahimahullah mengatakan: “Hendaknya ia menghukumnya dengan hukuman yang paling ringan dahulu, dimulai dengan menasehatinya, yaitu dengan menjelaskan hukum Allah tentang ketaatan ketaatan kepada suami, juga hukum menentangnya, menyemangatinya untuk taat, dan menakutinya dari maksiat” [Lihat Taisirul Karimir Rahman hal. 177 ].
Mendiamkan Isteri
Jika isteri kembali kepada ketaatan dengan nasehat saja, maka itulah yang diharapkan, walhamdulillah. Jika tidak, suami dibolehkan untuk mendiamkan (hajr) isterinya seperti diperintahkan dalam ayat di atas. Bagi sebagian wanita, model hajr seperti ini bisa sangat manjur untuk mengembalikan mereka kepada ketaatan. Mereka merasa sangat terpukul saat didiamkan suami dan tidak diajak berhubungan.
Namun sebaiknya hal tersebut dilakukan di dalam rumah saja, sebagaimana disebutkan dalam hadits Hakam bin Mu’awiyah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ولا يهجُرْ إلا في البيت
Artinya: “Hendaknya suami tidak mendiamkan isterinya kecuali di rumah.” [HR. Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani]
Maksudnya adalah mendiamkannya, tetapi keduanya tetap satu rumah; suami tidak meninggalkan rumah atau mengusir isterinya ke rumah lain. Dikisahkan bahwa saat marah kepada salah satu isterinya yang kebetulan mendapat giliran bermalam (mabit), Umar bin Abdul Aziz Rahimahullah, tetap bermalam di rumahnya, tapi tidak berbicara dengannya dan tidak menatapnya [Lihat 'Umdatul Qari, Badruddin al-'Aini] . Hal ini karena mendiamkan isteri dengan keluar rumah sangat menyakitkan. Seorang isteri bisa merasa sangat sedih ketika ditinggal suaminya untuk suatu keperluan, apalagi jika hal itu dilakukan sebagai hukuman.
Kecuali jika diperlukan, boleh bagi suami untuk mendiamkan isterinya dengan keluar rumah, sebagaimana dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Al-Bukhari Rahimahullahberkata:
باب هِجْرَةِ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – نِسَاءَهُ فِى غَيْرِ بُيُوتِهِنَّ. ثم روى عن أم سلمة أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – حَلَفَ لاَ يَدْخُلُ عَلَى بَعْضِ أَهْلِهِ شَهْرًا.
Artinya: “Bab bahwa Nabi mendiamkan para isteri beliau di luar rumah.” Kemudian al-Bukhari meriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersumpah untuk tidak masuk ke rumah sebagian isteri beliau selama sebulan”. [Shahih al-Bukhari 5202, al-Maktabah asy-Syamilah]
Suami hendaknya mempertimbangkan dengan matang bentuk dan waktu hajr yang dilakukan dengan melihat besar kecilnya kesalahan, kebutuhan dan manfaat yang diharapkan dari hajr tersebut.
Memukul Isteri dan Batasannya
Ayat tiga puluh empat dari Surat an-Nisa’ di atas menjelaskan bolehnya seorang suami memukul isterinya jika diperlukan. Ummu Kultsum binti Abu Bakr ash-ShiddiqRadhiallahu’anha meriwayatkan:
كَانَ الرِّجَالُ نُهُوا عَنْ ضَرْبِ النِّسَاءِ ثُمَّ شَكُوهُنَّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَخَلَّى بَيْنَهُمْ وَبَيْنَ ضَرْبِهِنَّ
Artinya: “Awalnya para suami dilarang untuk memukul para isteri. Kemudian mereka melaporkan isteri-isteri mereka kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau membolehkan memukul mereka.” [HR. Al-Baihaqi 7/304]
Maksudnya adalah pukulan yang ringan. Ketika menafsirkan ayat di atas, al-Bukhari mengatakan: “Maksudnya adalah pukulan yang ghairu mubarrih (tidak melukai)“. Kemudian beliau meriwayatkan dari Abdullah bin Zam’ah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَجْلِدُ أَحَدُكُمُ امْرَأَتَهُ جَلْدَ الْعَبْدِ ، ثُمَّ يُجَامِعُهَا فِى آخِرِ الْيَوْمِ
Artinya: “Janganlah seorang di antara kalian mencambuk isterinya sebagaimana mencambuk budak, kemudian berhubungan dengannya di akhir hari” [Shahih al-Bukhari 5204, al-Maktabah asy-Syamilah]
Hendaknya pukulan juga tidak dilakukan di wajah. Dalam hadits tentang hak-hak isteri atas suami, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
ولا يَضرِبِ الوَجْهَ ، وَلاَ يُقبِّحْ
Artinya: “Janganlah suami memukul wajah, dan jangan mengatakan qabbahakillah (semoga Allah menjadikanmu jelek).” [HR. Abu Dawud, an-Nasai dan Ibnu Majah, dishahihkan Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Albani]
Contoh-Contoh KDRT
Dari sini jelas dapat dibedakan antara ketegasan dan hukuman dengan KDRT, sebab KDRT adalah tindakan yang berlebihan dari ukuran dan ketetapan syari’at. Oleh karena itu hendaknya dilihat kembali semua kasus KDRT yang ada dengan melihat kepada syari’at islam yang lengkap dan indah agar tidak salah dalam memutuskan dan menyimpulkannya. Terlebih dizaman jauhnya kaum muslimin dari agamanya dan isu-isu kesamaan gender sedang dipropagandakan dalam semua sarana untuk semakin menjauhkan kaum muslimin dari keindahan agamanya.
Dari keterangan di atas, bisa disimpulkan beberapa contoh yang bisa dikategorikan sebagai KDRT, antara lain:
  1. Menjadikan pukulan atau hajr sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan masalah rumah tangga.
  2. Mengeluarkan kata-kata yang tidak baik , seperti qabbahakillah.
  3. Mendiamkan istri di luar rumah tanpa keperluan.
  4. Memukul wajah.
  5. Memukul di luar batas kewajaran.
Ingatlah syari’at islam tidak membolehkan dan mensyariatkan kecuali untuk kebaikan manusia seluruhnya dan tidak melarang kecuali perkara yang merusak dan mengganggu manusia. Karenanya marilah kita semua kembali merujuk kepada agama kita dalam melihat dan mengamalkan semua amalan kita keseharian. Sebagai penutup perlu kita semua memperhatikan dua hal dibawah ini:
Sabar Dalam Menghadapi Istri
Bahtera rumah tangga tidak dapat berjalan dengan baik jika pasangan suami isteri tidak memiliki kesabaran di antara mereka. Hal ini juga diperintahkan Allah dalam firmanNya:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
Artinya: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [QS. An-Nisa': 19]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لاَ يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِىَ مِنْهَا آخَرَ
Artinya: “Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perangainya, tentu ia suka perangai yang lain.” [HR. Muslim 2672]
Tidak semestinya suami menjadikan setiap kesalahan sebagai sebab untuk melampiaskan amarah. Hendaknya kita mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamyang oleh isteri beliau Aisyah disifati sebagai berikut:
مَا ضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلَا خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا نِيلَ مِنْهُ شَيْءٌ قَطُّ فَيَنْتَقِمَ مِنْ صَاحِبِهِ إِلَّا أَنْ يُنْتَهَكَ شَيْءٌ مِنْ مَحَارِمِ اللَّهِ فَيَنْتَقِمَ لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sama sekali tidak pernah memukul sesuatu dengan tangan beliau, -tidak juga pernah memukul wanita atau pembantu-, kecuali dalam jihad fi sabilillah. Dan tidaklah beliau pernah disakiti kemudian membalas dendam, tapi jika salah satu larangan Allah dilanggar, beliau membalas karena Allah” [HR. Muslim 2328]
Al-Alusi berkata: “Dan jelas bahwa menahan diri dan sabar terhadap isteri lebih baik daripada memukul mereka, kecuali jika ada alasan yang kuat”.
Pria Yang Paling Sempurna
Keterangan di atas sama sekali menunjukkan bahwa Islam melarang KDRT, kecuali yang diperlukan untuk mewujudkan maslahat yang lebih besar, dan dengan batasan-batasan yang ketat. Hal seperti ini kita istilahkan dengan ketegasan. Islam memberikan kedudukan yang sangat mulia kepada wanita. Banyak hal yang menunjukkan penghormatan tersebut.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan orang yang paling baik dalam umat ini adalah yang paling baik memperlakukan isterinya. Beliau bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
Artinya: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya, dan orang-orang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik akhlaknya terhadap isteri mereka” [HR. at-Tirmidzi 1195, dishahihkan al-Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 284]
Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
وَلَنْ يَضْرِبَ خِيَارُكُمْ
Dan orang-orang terbaik di antara kalian tidak akan memukul.” [HR. al-Baihaqi 7/304]
Salah seorang rawi hadits ini mengatakan:
وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم خَيْرَهُمْ كَانَ لاَ يَضْرِبُ
Dan Rasulullah adalah yang terbaik di antara mereka, beliau tidak memukul” [Riwayat Ibnu Abi Syaibah 5/223]
Hadits-hadits ini hendaknya memunculkan rasa takut pada diri seorang muslim. Komitmen sebagian muslimin terhadap pokok-pokok ajaran ahlussunnah kadang tidak diiringi dengan akhlak yang baik, termasuk kepada keluarga, khususnya isteri. KDRT masih sering terdengar dari rumah kita. Padahal Nabi shallallahu ‘alaihi wasallammenjadikan hal ini sebagai parameter kedudukan kita di sisi Allah. Yang tidak berakhlak baik kepada isteri bukanlah golongan terbaik dalam umat ini. Semoga Allah mengilhami kita untuk terus memperbaiki diri. Wallahu a’lam.
Referensi:
  • Fathul Bâri, Ibnu Hajar al-’Asqalâni, Tahqîq Abu Qutaibah al-Fariyabi, Dar Thaybah,1426 H.
  • Al-Jâmi’ li Ahkâmil Qur’ân, Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi, tahqîq Abdurrazzaq al-Mahdi, Maktabah ar-Rusyd, 1420 H.
  • Rûhul Ma’âni fi Tafsîril Qur’ânil ‘Azhîm was Sab’il Matsâni, Syihâbuddîn al-Alusi, Dârul Kutub al-’Ilmiyyah.
  • Taysirul Karimir Rahman, Abdurrahman as-Sa’di, Muassasah ar-Risalah.
  • Nahwa Akhlaqissalaf fi dhauil Kitab was Sunnah, Salim bin ‘Ied al-Hilali.
  • Durus Yaumiyyah.
  • Al-Maktabah asy-Syamilah, Divisi Rekaman Masjid Nabawi.
Penulis: Ustadz Anas Burhanuddin,Lc.,MA. dan Ustadz Kholid Syamhudi,Lc.

0 komentar:

Posting Komentar